TARGETPOST. NET – Banjarmasin. Regional Chief Economist Kantor Wilayah Direktorat Jenderal PerbendaharaanP erkembangan teknologi informasi dalam era digitalisasi mengakibatkan lompatan katak budaya baru dalam setiap lini kehidupan.

Dampaknya, proses pelaksanaan APBN yang bersifat klerikal diambil alih oleh aplikasi dan merekam setiap transaksi menjadi data fiskal. Data ini sangat besar dan lebih dari cukup bila sekedar memenuhi kebutuhan fungsi pembayaran sampai penyusunan laporan keuangan.
Oleh karena itu, tantangan DJPb adalah diproses bagaimana supaya data itu bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat?
Pada Rapat Pimpinan DJPb tanggal 15 Maret 2021, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan perspektif baru mengenai penguatan peran Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) di daerah dengan menjadi Regional Chief Economist (RCE).
Penguatan peran ini merupakan respons Dirjen Perbendaharaan terhadap arahan Menteri Keuangan RI dalam rangka peningkatan kapasitas dan peran Kanwil DJPb di daerah. Selain itu, organisasi pemerintah di era digital ini dituntut untuk mampu bekerja, mengambil kesimpulan/ keputusan, dan menetapkan suatu kebijakan dengan menggunakan analisis data secara tepat dan memadai (Syaiful, 2021).
Wikipedia mendefinisikan chief economist sebagai chief economist is a single-position job class having primary responsibility for the development, coordination, and production of economic and financial analysis. It is distinguished from the other economist positions by the broader scope of responsibility encompassing the planning, supervision, and coordination of the economic research.
Chief economist adalah suatu jabatan yang tidak saja bertanggungjawab atas kegiatan pengembangan, koordinasi, dan menghasilkan analisis ekonomi dan keuangan, tetapi juga bertanggungjawab atas perencanaan, pengawasan, dan koordinasi penelitian ekonomi.
Seorang chief economist bukan hanya melakukan analisis ekonomi dan fiscal serta membuat kesimpulan dan rekomendasi, tetapi juga bertanggungjawab untuk mengkomunikasikannya dengan pihak-pihak terkait. Sedangkan kata regional pada RCE digunakan untuk memberi batasan wilayah yang dianalisis.
Sebagai RCE, Kanwil DJPb menyiapkan analisis data informasi APBN, makroekonomi, dan fiscal daerah, serta menghubungkannya dengan kondisi perekonomian daerah sesuai wilayah kerjanya. Ketika melakukan analisis fiscal, Kanwil DJPb harus mengkoneksikan antara APBN dengan APBD melalui teknik pengkonsolidasian agar tidak terjadi dobel data.
Bagi Kanwil DJPb, hal ini bukan sesuatu yang baru, mengingat proses konsolidasi APBN dan APBD selalu dilakukan saat penyusunan Government Finance Statistic (GFS). Hasil koneksitas APBN/APBD diperhadapkan pada kondisi perekonomian daerah, khususnya potensi dan tantangannya untuk menghitung dampaknya terhadap perekonomian daerah, penciptaan kesejahteraan masyarakat dan kesempatan kerja di daerah bersangkutan. Tidak kalah pentingnya bagaimana hasil analisis ini dikomunikasikan kepada Pemangku Kepentingan di Pemda sehingga dapat menjadi insight dalam perumusan kebijakan fiscal daerah.
RCE yang diamanahkan kepada Kanwil DJPb mempunyai empat dimensi, yaitu: 1) Assets & Liabilities Committee (ALCo) Regional; 2) Cash Planning Information Network (CPIN) Regional; 3) Penajaman Kajian Fiskal Regional (KFR); dan 4) Forum Koordinasi Pengelolaan Keuangan Negara (FKPKN).
ALCo Regional adalah struktur ALCo pada tingkat provinsi yang memiliki tugas melakukan penyusunan konsep proyeksi realisasi dan rekomendasi langkah-langkah mitigasi risiko penerimaan, belanja, dan pembiayaan. Salah satu tujuannya adalah untuk mendukung pelaksanaan kebijakan maupun perancangan kebijakan pelaksanaan anggaran yang lebih kontekstual. Adapun CPIN Regional bertugas menyusun pemantauan dan analisis perencanaan kas tingkat lokal dan regional. KFR sendiri telah disusun oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan secara triwulanan dan tahunan sejak beberapa tahun terakhir. Kajian ini berisi analisis fiskal dan makroekonomi yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan kebijakan fiscal.
Adapun FKPKN dibentuk untuk menjembatani kebutuhan dan mendorong kesamaan langkah dalam membangun kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan keuangan pemerintah yang baik. (Majalah Treasury Vol. 3 Tahun 2021).
Saat ini, setiap dimensi dalam RCE tersebut telah dilakukan piloting di beberapa Kanwil DJPb di seluruh Indonesia. Dalam wawancara dengan Majalah Treasury Vol 3 Tahun 2021, Direktur Jenderal Perbendaaraan menyampaikan, “Setelah implementasi, maka perlu dilakukan refleksi apakah kegiatan RCE tersebut sudah menghasilkan output yang diharapkan, dan apakah output-output tersebut telah dapat menyentuh fungsi APBN sebagai stabilisasi, distribusi, maupun alokasi dan memberikan dampak bagi perekonomian regional. Harapannya, kegiatan RCE dapat menghasilkan output dan outcome yang nyata serta nilai tambah bagi pemerintah daerah.“
Penguatan Peran Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Kanwil DJPb sebagai instansi vertical DJPb yang mendapat amanah untuk melaksanakan RCE mengkoordinir beberapa Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) di wilayah kerjanya. Sejauh ini, KPPN belum dilibatkan dalam pelaksanaan RCE, perannya mengambang dan sekedar penyedia data fiskal.
Pada kenyataannya, data penerimaan diambil dari Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OMSPAN), data APBD diambil dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) milik Ditjen Perimbangan Keuangan. Sedangkan data penerimaan disupport oleh Kawil eselon 1 lainnya, data penerimaan pajak oleh Kanwil Ditjen Pajak, data bea cukai oleh Kanwil Ditjen Bea Cukai, dan data Penerimaan Bukan Pajak oleh Kanwil Ditjen Kekayaan Negara.
KPPN merupakan Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN) di Daerah yang mendapat kewenangan dari Menteri Keuangan RI sebagai BUN. Sebagai treasurer, KPPN bertugas mendistribusikan pengeluaran Negara kepada satuan kerja (satker) Kementerian/Lembaga (K/L) maupun kepada Pemda termasuk pemerintahan desa. Selain itu, KPPN juga bertugas melaksanakan penatausahaan penerimaan Negara serta melakukan pembinaan kepada Satker supaya dapat menyusun pertanggungjawaban laporan keuangan sesuai dengan Standar Akutansi Pemerintahan (SAP).
Dalam melaksanakan tugasnya, KPPN didukung oleh beberapa aplikasi yang handal, yaitu Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI), Modul Penerimaan Negara Generasi 5 (MPN-G3), serta e-rekon & LK. Kombinasi aplikasi yang handal dengan SDM yang mumpuni memberi keyakinan bahwa pengeluaran Negara didistribusikan secara tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu.
Oleh karena itu, peran KPPN cukup strategis dalam pelaksanaan APBN, namun apa yang dilakukan KPPN tersebut masih dalam tataran KPPN sebagai kasir. Penjelasan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengingatkan agar Kuasa BUN bukan sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran. Lebih tegas, PMK 262 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyatakan KPPN berfungsi melaksanakan fasilitasi kerjasama ekonomi dan keuangan daerah. Pembinaan KPPN selama ini hanya pada tahap mendorong Satker untuk melakukan penyerapan anggaran secara tepat waktu, tetapi belum menganalisis APBN pada Pemda termasuk menghitung manfaat pengeluaran APBN terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal Regional, Candra Fajri Ananda menyatakan, “Saya pun sangat berkeinginan KFR mampu menjadi pedoman bagi daerah. Namun, karena KFR itu sifatnya tiap provinsi, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan kajian lingkup kota/daerah. Apakah kita berani membuat semacam prognosis estimasi pertumbuhan ekonomi daerah. Saya yakin pemangku kepentingan di daerah akan melakukan rely on terhadap DJPb sebagai RCE.” Tantangan dari Staf Khusus Menkeu RI ini semestinya direspons positif dan melibatkan KPPN pada pelaksanaan RCE.
Faktor positif yang dimiliki KPPN dalam RCE adalah adanya kedekatan KPPN secara geografis dan emosi dengan Pemda dan stakeholder di daerah. Kedekatan ini akan memudahkan KPPN untuk memperoleh data serta memberi peluang untuk melakukan komunikasi dan kolaborasi langsung dengan Bagian Litbang Pemda. Oleh karenanya penting bagi KPPN untuk melakukan Perjanjian Kerjasama dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menangani penelitian maupun perencanaan, serta membuat Nota Kesepakatan dengan BPS daerah untuk pemanfaatan data makroekonomi dan fiscal tingkat kabupaten/kota. Untuk memperkaya RCE tingkat kabupaten.kota, KPPN dapat saja berkoordinasi dengan kantor vertical eseleon 1 lainnya.
Selain komunikasi dan koordinasi yang efektif, pintu masuk KPPN untuk berkolaborasi dengan Pemda adalah adanya dana APBN yang didistribusikan ke Pemda. Prinsip money follows program mengakibatkan ada bagian dana APBN, yaitu dana desentralisasi dan dana Tugas Pembatuan, yang didistribusikan ke Pemda untuk membiayai program atau kegiatan dengan prioritas daerah kabupaten/kota dan berdampak langsung kepada masyarakat. Dana ini ada yang didistribusikan melalui KPPN bersangkutan, namun ada pula yang didistribusikan melalui KPPN Jakarta 2. Sebagai Kuasa BUN, KPPN mempunyai kewenangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi atas seluruh penggunaan dana APBN yang didistribusikannya.
Adapun tantangan utama KPPN dalam RCE adalah keterbatasan SDM yang memiliki pengetahuan penelitian yang kuat, disamping adanya perbedaan kuantitas dan kualitas SDM tiap KPPN. Mekipun transformasi pola pikir dari klerikal menjadi analisis telah didorong sejak lama, namun SDM yang memahami teknik analisis masih terbatas. Oleh karena itu, KPPN harus memberi pelatihan melalui kerjasama dengan pihak universitas maupun pihak BPS, bila perlu dengan pola pemagangan.
Akhirnya, pelibatan KPPN dalam pelaksanaan RCE perlu dilakukan, sehingga tidak saja mendorong model pencairan APBN/APBD yang ideal tetapi juga mengetahui berapa besar dampak fiscal terhadap kesejahteraan masyarakat, serta rekomendasi langkah-langkah agar belanja pemerintah dapat lebih besar dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, serta pengurangan tingkat pengangguran.
Dengan demikian data yang tersimpan tidak lagi menjadi harta karun yang tidak optimal pemanfaatannya.
Disclaimer: Tulisan adalah pendapat pribadi tidak berkait dengan kebijakan instansi.